Sabtu, 14 Maret 2015

Tongkat Estafet

Mari kita analogikan kehidupan ini dangan lari estafet, karena sebenarnya begitulah yang kita lalui.
Kita pakai nama Nebula. 

Lari estafet itu dimulai saat Nebula terpaksa menembus pintu sebuah ruangan yang paling terproteksi di dunia, tempat paling kokoh yang pernah ada. Rahim ibundanya. 
Nebula terpaksa keluar dari tempat itu dan memegang tongkat estafet pertama. Karena jika saja aku punya kesempatan untuk mewawancarai Nebula, aku yakin ia memilih untuk tak akan pernah keluar dari sana, ia nyaman dan terlindungi disana. Nebula sudah berfirasat dunia diluar sana akan banyak serigala yang akan menerkamnya, dan banyak bunga yang akan meracuninya.
Tapi kata Allah sudah saatnya Nebula keluar. Ayah dan ibunda sudah sangat menantinya. 

Bayi Nebula menjadi sumber tawa keluarga. Bagai bintang lapangan semua pandangan menuju kearahnya. Betapa bahagianya mereka melihat Nebula duduk tak perlu bersandar lagi,  histerisnya mereka saat menyaksikan langkah pertama, tawa yang tak lagi hanya menampakkan merah gusi, dan kata pertama yang berhasil bibir mungil Nebula ucapkan.
Betapa setiap orang antre menimang, mengecup pipi, dan bertingkah konyol hanya untuk memancing derai tawa. Karena tawa Nebula, adrenalin yang menyisihkan penat mereka.
Sampai bayi Nebula harus berhenti, dan menyerahkan tongkat estafet pada Nebula kecil.

Tak peduli betapa kurus dan coklat betis itu, Nebula terus berlari kesana-kemari.
Menuju sawah dan mendengar cerita padi, bahwa ia siap disabit untuk memberi makan manusia satu negeri.
Menuju sungai dan minta izin pada ikan, bersediakah kamu jika aku ikut bermain air bersamamu? maukah kamu jika aku bawa pulang untuk digoreng ibundaku, sebagai hidangan kami malam ini?
Mengejar angin yang menerbangkan lelayangan, andai aku bisa ikut terbang seperti layangan? atau hanya sekedar memburu layangan putus itu, siapa cepat, dia dapat. Dua-duanya sama-sama menggembirakan.
Singkirkan semua benda berbaterai yang membuat ia autis.
Matikan setiap layar yang membuat ia apatis.
Redamkan segala suara yang membuat ia tuli.
Dunia Nebula adalah nyata, ia menyatu dengan semesta.
Nebula menerima warisan ilmu dari orangtuanya, bukan harta.

Jika langit telah berubah warna menjadi saga, dan suara senja bersahutan memanggil manusia, Nebula bercinta dengan kitabnya. Bersama bocah lainnya, saling simak membetulkan bacaan, sambil melirik takut pada rotan di genggaman gurunya. Qulhuallaahuahad! Nebula mulai berkenalan dengan Maha Satu yang kemudian menjadi visi hidupnya. Innassholaati wanusuki wamahyaaya wamamaati lillaahi Robbil'aalamiin.
Hingga Nebula kecil harus diam, dan memberikan tongkat estafet pada Nebula remaja.

Nebula bertengger pada jendela dunia, ia menjadi gila. Gila ilmu.
Seperti reporter dan wartawan yang bergegas bila mendengar berita, begitulah Nebula jika mengetahui dimana letak ilmu. Ia langsung memburunya, dan tersenyum lega ternyata dimana-mana ada ilmu, karena dimana-mana Nebula ingin tahu.

Tak peduli matahari akan membakar, Nebula terhipnotis pada lembaran target yang menempel di dinding kamarnya, di kaca rias, di pintu kamar, di meja makan, di pintu kamar mandi, di kotak sabun, di rak sepatu, di pagar, di 5cm didepan matanya. Sampai matahari bersembunyi di balik awan, ternyata semangatnya membakar bumi masih kalah gigih dibanding Nebula.
Hatta Nebula remaja harus berhenti, dan melanjutkan tongkat estafet pada Nebula dewasa.

Ia kembali gila, kali ini Nebula gila mengumpulkan rupiah.
Tidak, uang tidak menjadi ambisinya. Ia hanya terbius petuah ustadz, seorang muslim memang harus berharta, harta bisa menjaring pahala jika ia telaten menggunakannya, harta bisa menjadi jalan menuju surga.

Lalu, apa yang terjadi? Nebula terkunci.
Seseorang telah mengunci hatinya, dan membuang kuncinya ke laut. Kentara sekali maksud orang itu, agar hati Nebula tetap terkunci, bersamanya. Tak ada lagi yang akan masuk, tak akan ada yang bisa keluar.
Amboi.. Seseorang telah menyadarkan Nebula bahwa masih ada cinta selain Allah, Rasul, Orangtua, dan saudaranya.
Kini perjalanan estafetnya tak lagi melelahkan. Mereka berlari beriringan. Dua estafet kehidupan kini menjadi satu.
Perjalanan estafet kehidupan mereka kini bersetting di tengah samudera, dan mereka menunggangi bahtera. Mungkin badai dan pusaran air di depan sana akan terlihat seperti kebun bunga, karena di bahtera itu, mereka bersama.

Garis Senyum melengkung pada dua bibir, kemudian senyum itu menular pada seluruh keluarga, saat mereka tahu Nebula akan menjadi orangtua. Karena ia sudah tak sabar lagi untuk mewariskan banyak hal pada pangeran dan putrinya.
Nak, perjalanan estafetmu harus lebih baik dari aku.

Sampai Nebula dewasa harus beristirahat, dan merelakan tongkat estafet pada Nebula tua.

Nebula sudah tak menginginkan apa-apa lagi, ia telah memiliki semuanya. Dunianya sempurna.
Ia hanya ingin bermunajad sepanjang malam, dan menjadi abdi masyarakat selama siang.
Mungkin Ia akan berkebun di teras belakang rumah. Atau membuat akuarium atau kolam ikan. Atau membaca buku. Atau menulis banyak hal. Apalagi yang bisa ia lakukan?

Satu kegiatan yang benar-benar menjadi kesibukannya adalah berdoa, agar waktu finish dari perjalanan estafetnya merupakan waktu paling syahdu yang pernah ia miliki.
Agar ia bisa tersenyum melihat makhluk bersayap datang dan berkata, "tongkat estafetmu telah patah, ayo kita pulang."




Dan kau, tongkat setafet mana yang sedang kau genggam?


Sabtu, 08 November 2014

Negeri di Ujung Tanduk



Oh bukan, postingan kali ini bukan tulisan saya.
Tulisan ini lahir dari otak brilian seorang anak kecil yang baru saja memasuki usia yang orang-orang bilang penuh bunga, Sweet Seventeen. 
(Semoga ABG yang satu ini tidak labil, alay, cucok rempong, ataupun yang suka ikut-ikutan gaya Syahrini. Maju mundur cantiiiikk...) 
Seorang anak kemarin sore yang peduli sekali dengan negerinya, bahkan lebih peduli dari orang-orang hebat yang tempo hari tawuran saat sidang di forum DPR.
(Saya mohon jangan anggap saya sudah tua hanya karena saya sebutkan anak ini masih kecil, anak  baru kemarin sore. Dia sendiri yang mendeskripsikan dirinya seperti itu, apa boleh buat. Sungguh, saya juga masih muda)

Tulisan ini diposting di akun Facebooknya, Atika Lamiis, tanggal 30 Oktober 2014 pukul 20.11 WIB. Sangat berkesan, setelah saya membaca tulisan ini, saya cuma pengin bilang "keren anak muda!"



*Negeri di Ujung Tanduk


Tidak, tulisan ini bukanlah review dari novel Negeri di Uung Tanduk karya Tere Liye. Tapi ini adalah tentang Negeriku yang kini benar-benar berada di ujung tanduk. Hanya sebuah kekecewaan kecil dari seorang anak bangsa. Jika kalian bersedia mendengarkannya, dengarkanlah.



Apa yang terjadi pada negeriku?

Wahai para pemimpin dan wakil bangsaku! Ada apa dengan kalian?

Aduh, apa pula yang kalian perebutkan? Kekuasaan? Sebuah bangku? Atau mungkin, kalian bertengkar karena tidak kebagian permen?



Sudahlah, hentikan pertengkaran kalian! Jujur aku tidak mengerti alasan kenapa kalian bertengkar. Aku tidak terlalu mengerti apa yang kalian bahas, seperti yang terlihat di berbagai siaran televisi itu. Aku tidak akan mencampuri urusan orang dewasa. Bukankah anak kecil tidak boleh mencampuri urusan orang tua?

Tapi bisakah kalian berhenti bertengkar? Pecah menjadi beberapa geng? Ayolah, apa pula ini? Kami saja yang anak kecil kalau bertengkar cepat sekali berdamainya.



Aku bukan seorang anak sok pintar yang mengerti politik dan urusan negara. Aku hanya seorang anak kemarin sore yang terlalu bosan melihat para wakil negaranya bertengkar. Bosan sekali, sungguh. Rasanya ingin berteriak di depan wajah kalian semua dan mengatakan langsung kalau aku bosan melihat kalian bertengkar. Malu tau!

Karena itu dengarkanlah anak kecil ini. Hentikanlah omong kosong dan pertengkaran kalian. Apa perlu aku belikan permen?



Aku mengatakan ini bukan karena aku benci dengan para wakil negeriku ini. Bukan pula ingin mencaci maki. Hanya ungkapan kekecewaan. Kalian orang hebat, mungkin hanya sedikit kekanakan.

Sungguh karena aku cinta dengan negeri ini aku kecewa. Takut sekali jika terus seperti ini, maka negeri kita bagaikan telur yang berada di ujung tanduk, menunggu jatuh saja. Kemudian PECAH.